Tim Kuasa Hukum Sebut Proses Penahanan Terhadap Efsa setelah Dikenai Pasal 170 KUHP Cacat Hukum

- 26 April 2024, 17:50 WIB
KASUS PENAHANAN KETUA ORMAS : Desri Nago SH (paling kanan), kuasa hukum Efsa CS, saat melakukan konferensi pers di jalan Tanjung Barangan kota Palembang, pada kamis (25/4/2024).
KASUS PENAHANAN KETUA ORMAS : Desri Nago SH (paling kanan), kuasa hukum Efsa CS, saat melakukan konferensi pers di jalan Tanjung Barangan kota Palembang, pada kamis (25/4/2024). /

KLIKSUMSEL, PALEMBANG - Peristiwa penahanan terhadap Ketua Ormas P2S (Putra Putri Sriwijaya), Efsa Romli Hidayat (34) oleh penyidik unit Pidum Polrestabes Palembang, pada 22 April 2024 kemarin, sepertinya bakal berbuntut panjang. 

Pasalnya, sangkaan tuduhan Pasal 170 KUHP yang dilaporkan supir truk angkutan batu bara berinisial D, di perlintasan jalan Tanjung Barangan Palembang, pada awal April lalu, dinilai tim kuasa hukum Efsa tidak mendasar dan diduga syarat kepentingan.

"Berdasarkan Pasal 227 KUHP di mana klien Kantor Hukum Desri Nago & rekan An. Efsa CS yang dilaporkan pada tanggal 2 April 2024, tidak adanya pemanggilan dengan surat panggilan / surat lainnya, namun pada tanggal 22 April 2024 sdr. Efsa CS dijemput paksa oleh pihak kepolisian Polrestabes Palembang dengan alasan untuk dimintai keterangan," ungkap Desri Nago SH, kuasa hukum Efsa CS, saat melakukan konferensi pers di jalan Tanjung Barangan kota Palembang, pada kamis (25/4/2024).

Desri juga menyayangkan, proses BAP dan gelar perkara hingga penahanan terhadap kliennya dilakukan tanpa adanya proses mediasi dan tidak ada dihadiri terlapor dan pelapor.

"Setelah sampai di Polrestabes, Sdr. Efsa diminta melakukan BAP (berita acara perkara) serta terjadi gelar perkara, pada saat itu juga tanpa mediasi dan tanpa dihadiri oleh terlapor yang secara formal gelar perkara harus dilakukan penyidik dengan menghadirkan pelapor dan terlapor, apabila salah satu tidak dihadirkan maka dapat dikatakan gelar perkara tersebut cacat hukum, namun pada saat itu juga sdr. Efsa ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Polrestabes Palembang, sedangkan surat penahanannya diterima keesokan harinya oleh pihak Polrestabes Palembang," papar Desri.

"Kami di sini meminta keadilan kepada Kapolda Sumsel dengan pelanggaran dalam hukum acara pidana tersebut, di mana seharusnya dihadirkan terlapor dan pelapor dalam gelar perkara tersebut," tambah dia.

Desri juga menyinggung, soal Pasal 170 KUHP tentang hak-hak tersangka, salah satunya ialah dalam hal penyelidikan di mana penyidik harus menjelaskan secara jelas hal apa saja yang menyebabkan tersangka ditangkap.

Selanjutnya, ia juga mempertanyakan bukti visum yang dikeluarkan pelapor. Sebab berdasarkan Pasal 170 KUHP, tersangka berhak mendapatkan hasil visum juga, namun pada kenyataannya hal tersebut dipersulit bagi tersangka.

"Sedangkan untuk barang bukti lain berupa video warga mengenai pengeroyokan terhadap supir, yang sebenarnya warga tersebut berusaha untuk menghalau pelapor (supir) karena telah melewati jam melintas mobil angkutan di jalan Tanjung Barangan yang menyebabkan gangguan dan ketertiban di tempat umum.

Kami sudah berkoordinasi dengan pihak Propam Polda Sumsel di mana atas kuasa pihak keluarga tersangka Sdr. Efsa akan membuat laporan ke Propam Polda Sumsel dan perlu dicatat bahwa Aktivis, media, ormas, NKO, NGO Sumsel sudah menggalang kekuatan mencari keadilan karena menyangkut marwah profesi kontrol sosial, jangan biarkan Kantor Hukum Desri & rekan berjuang sendirian atas nama keadilan karena kami bergerak berdasarkan Undang-undang Pasal 16 nomor 18 tahun 2003, bahwa advokat bergerak dilindungi undang-undang yang disahkan Mahkamah Agung, oleh mahkamah konstitusi dan Undang-undang," tandasnya. 

Masih disampaikan Desri nago, mengenai kronologi kejadian di kecamatan Tanjung Barangan, tempat melintas mobil batu bara yang bukan kelas dan grade jalannya (bukan untuk jalur lalu lintas truk batu bara), sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 22 tahun 2009. 

"Yang menurut pendapat dari kantor hukum desri nago & rekan dengan tim media, LSM dan aktivis, jalan tersebut bukanlah tempatnya (mobil batu bara) untuk melintas dan bila perlu dipanggil ahli dari Dirjen jalan dan dinas terkait," imbuhnya.

Malahan, lanjut dia, masyarakat sekitar mengeluhkan adanya aktivitas mobil-mobil besar tersebut di jalan Tanjung Barangan karena sangat mengganggu aktivitas serta membahayakan bagi pengguna jalan, apabila dibiarkan dapat mengancam masyarakat, apalagi di jalan Tanjung Barangan itu terdapat SDN 14 Palembang yang jalannya di lintasi mobil-mobil bermuatan besar, belum lagi aktivitas penggaliannya yang perizinannya tidak jelas, di mana Pemerintah kota Palembang berdiam diri seakan tidak peduli.

"Hingga akhirnya terjadilah aksi damai yang dilakukan Ketua Ormas P2S (Putra putri Sriwijaya), Sdr. Efsa Romli Hidayat, pada bulan lalu dan mendapatkan kesepakatan, bahwa mobil-mobil besar tersebut hanya diperbolehkan melewati jalan Tanjung Barangan dari jam 8 pagi hingga 5 sore. Namun atas dugaan mafia tanah di kota Palembang yang berlindung di balik konstitusi UU no. 98, yang mengajarkan kepada para supir agar melawan masyarakat sehingga supir dijadikan tumbal oleh para mafia tanah tersebut.

Kami melihat ada pelanggaran kesepakatan dari jam 8 pagi hingga 5 sore tersebut, di mana terpantau lewat dari jam 5 sore melintas mobil truk besar dan sang supir melakukan perlawanan kepada masyarakat hingga terjadilah percekcokan hingga tindak penganiayaan dengan kekerasan yang kemudian terjadilah tuduhan pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan di unit Pidum Polrestabes Palembang," urainya.

Desri menegaskan, dari peristiwa tersebut sudah terlihat rasa ketidakadilan yang diterima Ketua Ormas Putra Putri Sriwijaya, Efsa Romli Hidayat (Ace). Di mana setelah kejadian percekcokan tersebut terjadi pelaporan ke Polrestabes Palembang, tanggal 2 April 2024 terhadap Efsa CS

"Menurut pandangan hukum, bahwa laporan pelapor D (supir) yang selama satu bulan berjalan, diperbolehkan pihak kepolisian melakukan upaya paksa dengan langkah-langkah berdasarkan Pasal 112 ayat 2 KUHP, di mana orang yang dipanggil penyidik wajib datang, apabila terlapor tidak datang maka penyidik akan melakukan panggilan ulang dengan perintah kepada petugas agar membawa terlapor kepada penyidik," tukasnya. (*)

Editor: Donni


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah